Apa Itu Pilot Kamikaze
Nasionalisme dan kepahlawanan pilot Kamikaze
Selama perang, Jepang memastikan bahwa pilot Kamikaze dipandang secara luas sebagai pahlawan. Awalnya, angkatan udara pernah mendapat penolakan dari Akademi Angkatan Laut Kekaisaran, tetapi akhirnya menjadi karier yang layak dan dihormati. Propaganda ini juga menembus iklan, dengan poster bertuliskan "Move Forward, One Hundred Million! You Are Fireballs." Itu semua adalah taktik ideologis untuk mengharumkan pilot Kamikaze.
Setelah perang, sentimen itu benar-benar runtuh. Itu sebabnya pada tahun 1952, kaum nasionalis ingin menulis ulang tentang stigma buruk pilot Kamikaze yang ditinggalkan Sekutu.
Mereka meyakinkan bahwa aksi pilot tidak memalukan dan bukan kejahatan. Pandangan ini diserukan pada tahun 1970-an, 80-an, dan 90-an. Pandangan positif ini diingat Jepang hingga hari ini. Faktanya, orang Jepang mengingat pilot Kamikaze dengan berlinangan air mata.
Kisah pilot Kamikaze adalah sesuatu yang tragis. Dokumen dan gambar telah dikumpulkan pada tahun-tahun sejak perang untuk mengenang para pilot. Ada foto yang menunjukkan sekelompok pilot muda berdiri bersama dan tersenyum, pilot saat memeluk anak anjing. Bahkan dengan kematian di depan mata, mereka berhasil terlihat ceria.
Ada pula beberapa surat yang ditujukan kepada orang-orang terkasih. Seorang pilot menulis tentang turunnya hujan yang telah menunda misinya. Pilot lain menulis surat untuk orangtuanya, meminta maaf karena belum bisa menjadi anak yang terbaik. Ada juga yang menulis kepada tunangannya, berharap agar bisa menikah dengannya di kehidupan berikutnya.
Itulah deretan kisah tentang pilot Kamikaze yang bisa dibilang sangat menyayat hati. Tak disangka, sejarah berhasil merekam perjuangan pilot Kamikaze dari berbagai sudut pandang.
Baca Juga: Kisah Ajeng Tresna, Pilot Pesawat Tempur Perempuan Pertama Indonesia
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Menjadi pilot Kamikaze adalah sukarela, tapi tidak selalu
Meskipun Jepang sangat membutuhkan banyak prajurit, tetapi mereka tidak memaksa semua orang untuk menjadi pilot Kamikaze. Sebenarnya ada kuesioner tentang perekrutan sebagai pilot Kamikaze. Formulir itu bertuliskan tiga pertanyaan — "Saya sangat ingin bergabung," "Saya ingin bergabung," dan "Saya tidak ingin bergabung."
Mereka dibawa ke sebuah ruangan dan diberi waktu lima menit untuk memutuskan apakah mereka akan menjadi sukarelawan, menolak, atau membiarkan komandan mereka yang memutuskan.
Pilot kadang-kadang ditempatkan dalam kelompok besar dan diminta untuk menjadi sukarelawan. Tetapi, terkadang ketiga pilihan itu hanyalah formalitas, karena kebanyakan dari mereka akan dipilih menjadi pilot.
Pilot Kamikaze dan kenyataan tentang kematian
Semua pilot Kamikaze harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka akan meninggal. Ada yang rela, ada yang tidak. Beberapa hari dan jam terakhir, mereka tampak muram. Beberapa akan mengubur seikat rambut mereka di belakang kuil. Terkadang, mereka mendapat izin mengunjungi keluarga mereka untuk terakhir kalinya.
Kemudian, pada hari misi, beberapa menit terakhir mereka dihabiskan dengan tujuan ke kapal musuh, dengan instruksi untuk mengirim satu pesan kode terakhir. Di pihak penerima, jika sinyal panjang itu berakhir dengan keheningan, maka misinya berhasil.
Sejak saat itu, pilot Kamikaze dikaitkan dengan bunga sakura Jepang, untuk alasan yang sangat mengharukan. Di satu sisi, bunga sakura menandakan tentang kehidupan, sederhana dan indah tetapi tidak kekal.
Apakah kamu bersedia bertarung untuk negaramu?
Sebuah jajak pendapat Win/Gallup menemukan bahwa 11% rakyat Jepang siap berperang untuk negara mereka. Jajak pendapat itu dilakukan di negara lain dan hasilnya sebagai berikut:
Sulit untuk memastikan jumlah pilot kamikaze. Meski demikian diperkirakan sebanyak 3.000 sampai 4.000 pilot menabrakkan pesawat mereka ke target musuh dengan sengaja.
Hanya 10% misi mereka diyakini berhasil dan menenggelamkan 50 kapal perang sekutu.
Bagaimanapun, melalui film, aksi mereka menjadi abadi. Pada 2000-an, film seperti For Those We Love dan The Eternal Zero dirilis. Kedua film tersebut menggambarkan pilot kamikaze sebagai pahlawan Jepang.
Pesan itu rupanya mempengaruhi pandangan sejumlah kaum muda Jepang, seperti diakui Sho. Berkat film itu pula, dia kukuh menyatakan siap mati untuk Jepang jika negaranya terlibat perang esok hari.
"Justru karena saya tidak mampu melakukan (kamikaze), saya menganggapnya sebagai aksi heroik dan berani," kata Sho.
Pemuda seperti Sho, kenyataannya jarang ditemui. Berdasarkan jajak pendapat Win/Gallup, hanya 11% rakyat Jepang yang bersedia berperang untuk negaranya.
Hasil itu sama sekali tidak mengagetkan mengingat generasi pascaPerang Dunia II di Jepang dibesarkan oleh konstitusi yang melarang Jepang mempunyai militer.
JAKARTA — Istilah Kamikaze adalah sebuah taktik penyerangan lewat pesawat udara yang mengangkut bom berdaya ledak tinggi. Dengan mengorbankan nyawa sesosok manusia yang rela mati bersamaan pesawat tersebut ditabrakan ke target sasaran.
Para pilot dipersiapkan matang secara one way ticket, artinya hanya ada satu-satunya jalan pulang menuju kematian sebagai pilot Kamikaze, dan tak ada lagi jalan pulang ke kampung halaman mereka di Jepang.
Serangan Kamikaze menjadi krusial bagi pihak Jepang yang saat itu sangat kewalahan menghadapi kedigdayaan pihak Amerika Serikat dengan perlengkapan yang modern dan canggih. Lebih penting lagi, serangan Kamikaze jauh lebih akurat ketimbang pengeboman yang memungkinkan serdadu Angkata Udara Jepang menargetkan titik-titik lemah kapal Amerika.
Taktik yang dilakukan oleh para serdadu negeri matahari terbit ini menjadi jalan satu-satunya bagi Jepang untuk menggembosi dan melumpuhkan kapal-kapal induk tentara Amerika Serikat di kawasan laut Pasifik. Belum lagi bagaimana ketatnya penjagaan pesawat-pesawat tempur yang melindungi kapal induk mereka disertai fasilitas canggih dengan senjata anti-udara terdapat di kapal induk.
Namun apa yang terjadi bila eksekusi para pilot Kamikaze itu gagal? entah terkendala faktor teknis ataupun rasa takut menghantui mendominasi hingga mengurungkan niat ber-Kamikaze?
Sejak turun temurun sebuah nilai kehormatan adalah hal yang sangat sakral bagi rakyat Jepang. Mereka yang telah sukses sebagai pilot Kamikaze namanya dikenang sebagai sosok yang nasionalis dan terpandang bagi kalangan rakyat Jepang. Bahwa mereka adalah prajurit yang penuh kehormatan disertai rasa ketidakegoisan. Efek psikis dari pilot-pilot Kamikaze sangat berpengaruh pada keberanian para serdadu Jepang di sektor penyerangan.
Menjadi pilot Kamikaze di mata masyarakat Jepang adalah pertunjukkan kesetiaan pada level tertinggi terhadap kaisar. Para pilot menerima jatah yang lebih baik selama pelatihan sebelum keberangkatan ‘menuju kematian’. Rasa nasionalis yang memicu keberanian mereka untuk menyerahkan hidup bersamaan bom yang meledak nanti, menjadikan rasa takut akan kegagalan justru menjadi momok yang tak diinginkan oleh para pilot.
'Saya tidak ingin mati'
Lepas dari pandangan kaum muda terhadap pilot kamikaze, benarkah para penerbang itu siap mati untuk negaranya ketika mengudara pada usia 17 hingga 24 tahun?
Ketika saya berbincang dengan dua mantan pilot kamikaze, yang kini berusia 90-an tahun, jawabannya tidak.
"Menurut saya, 60% hingga 70% dari kami betul-betul ingin mengorbankan diri untuk kaisar, tapi sisanya mungkin mempertanyakan mengapa kita harus bunuh diri," kata Osamu Yamada, mantan pilot kamikaze yang berusia 94 tahun.
Ditemui di kediamannya di Nagoya, Yamada mengaku tidak sempat menjalankan misi bunuh diri karena perang keburu usai.
"Saya lajang saat itu dan tidak ada yang mengekang, sehingga saya asli berpikir untuk mengorbankan diri demi membela Jepang. Namun, bagi mereka yang sudah berkeluarga, mereka pasti punya pikiran lain," kata Yamada.
Keiichi Kuwahara, 91, merupakan salah satu penerbang yang tidak bisa berhenti memikirkan keluarganya. Dia mengisahkan momen ketika dia diperintahkan menjadi pilot kamikaze.
"Saya bisa merasakan diri saya menjadi pucat. Saya takut. Saya tidak ingin mati," papar Kuwahara yang saat itu berusia 17 tahun.
"Saya kehilangan ayah setahun sebelumnya, sehingga hanya ada ibu dan kakak perempuan untuk bekerja menopang keluarga. Saya mengirim uang gaji ke mereka. Saya pikir, apa yang terjadi jika saya mati? Bagaimana keluarga saya bisa makan?"
Sumber gambar, Keiichi Kuwahara
Keraguan Kuwahara terjawab. Ketika mesin pesawatnya rusak dan dia terpaksa kembali, dia merasa lega.
Meski demikian, di atas kertas, Kuwahara dianggap telah menjadi sukarelawan kamikaze.
"Apakah saya terpaksa atau saya sukarela? Itu pertanyaan yang sulit dijawab jika Anda tidak memahami esensi militer," ujarnya.
Profesor Sheftall mengungkap bahwa pada masa itu pilot yang tidak ingin sukarela menjadi kamikaze harus mengangkat tangan di tengah barisan. Akibat kondisi itu, jarang ada pilot yang menolak.
Pada masa kini, pilot kamikaze kerap disandingkan dengan teroris yang menjalankan misi bunuh diri. Namun, Kuwahara berkeras keduanya tidak bisa disamakan.
"Saya pikir keduanya amat berbeda. Aksi kamikaze ditempuh pada masa perang, sedangkan serangan kelompok ISIS tidak bisa ditebak," jelasnya.
Anggapan bahwa aksi kamikaze adalah terorisme, menurut Yamada, adalah contoh bahwa kamikaze kerap dimaknai dengan salah. Menurutnya, kata kamikaze yang secara harfiah berarti "angin ilahi", sering kali dipakai dalam bahasa Inggris tanpa memahami konteks sejarah Jepang.
"Saya sakit hati karena kamikaze adalah masa muda saya. Kamikaze tidak bersalah, itu adalah sesuatu yang benar-benar murni, maknanya lebih dalam. Tapi kini kamikaze diperbincangkan seolah-olah kami telah dicuci otak," paparnya.
Sumber gambar, Getty Images
Setelah Perang, Kuwahara merasa dibebaskan dan berpikir bagaimana cara membangun Jepang.
Namun, Yamada perlu waktu untuk menyesuaikan diri.
"Saya merasa disorientasi, tidak berdaya, kehilangan keakuan, seolah-olah sukma saya meninggalkan raga," kenangnya.
"Sebagai pilot kamikaze, kami siap mati. Jadi ketika saya mendengar kami telah dikalahkan, saya merasa kehilangan tempat berpijak."
Lantaran merasa perlu mendapat kerja, makan, dan bertahan hidup, dia bisa menjaga kawarasan seusai perang.
Bagaimanapun, alasan utama mengapa dia bisa tetap punya keinginan untuk hidup adalah Kaisar Hirohito. Pria yang dibela mati-matian oleh rakyat Jepang itu memberi contoh berdamai dengan menjabat tangan para jenderal Amerika.
"Kaisar, Yang Mulia, adalah jantungnya Jepang. Saya pikir kehadiran Kaisar Hirohito membantu Jepang pulih dari perang," ujarnya.
Bagi generasi Jepang pascaperang, pengalaman mantan pilot kamikaze tidak terbayangkan, bahkan oleh keluarga para pilot.
"Tatkala saya merenungkan hidupnya, saya tersadar bahwa hidup saya bukan untuk diri saya sendiri. Saya berkewajiban untuk hidup bagi mereka yang terlahir sebagai anak dan cucu para serdadu yang tewas saat perang," kata cucu Yamada, Yoshiko Hasegawa.
Sementara itu, cucu Kuwahara, tidak mengetahui secara pasti apa yang kakeknya lalui sebagai pilot kamikaze.
"Justru Jepang yang damai itulah yang saya ingin ciptakan," kata Kuwahara seraya tersenyum.
Baginya, ketidaktahuan cucunya adalah bukti bahwa Jepang telah melewati masa lalunya yang kelam dan menyakitkan.
Pilot Kamikaze bukanlah satu-satunya yang melakukan misi bunuh diri
Pilot Kamikaze menjadi salah satu unit militer Jepang yang lebih dikenal. Mereka salah satu unit di bawah payung pasukan 'Serangan Khusus'. Awalnya, pilot Kamikaze bukanlah misi bunuh diri, tetapi kelompok kecil yang ditugaskan untuk menghancurkan markas musuh dengan taktik tabrak lari.
Ada juga pasukan Serangan Khusus resmi lain, yakni Kaiten—misi torpedo bunuh diri berawak. Satu orang akan duduk di dalam torpedo dan mengarahkannya ke sisi kapal musuh, meledak saat bersentuhan. Dalam nada yang sama, ada juga kapal bunuh diri dan kapal selam kecil yang melayani tujuan serupa.
Pada akhir perang, mereka dijadikan misi bunuh diri. Terkadang, prajurit akan mengenakan perlengkapan selam dan bersembunyi di lepas pantai, dipersenjatai dengan bahan peledak di batang bambu untuk menghancurkan kapal yang melewati mereka. Ada juga tentara yang mengikatkan bom ke tubuhnya dan bersembunyi di lubang untuk meledakkan tank yang melewati mereka.
Analisis Moral Pengabdian Diri Pilot Kamikaze Pada Perang Dunia II (Dai ni Sekai Sensuo No Kamikaze Pairotto No Kenshin No Doutoku Bunseki)
Share the post "Apa itu RTK (Real-Time Kinematic)"
error: Content is protected !!
Rasa hormat dan rasa malu
Dilansir dari History of Yesterday Bagi para pilot Kamikaze yang terpaksa pulang ke kampung halaman mereka di Jepang, terbagi menjadi dua kategori: mereka yang gagal akibat kesalahan teknis-mekanis pada proses penyerangan, dan yang kedua adalah mereka yang dihinggapi rasa takut berlebih dengan memutuskan tak menjalankan Kamikaze.
Hukuman terhadap mereka yang gagal ber-Kamikaze akibat faktor psikologis, atau sama sekali tak dapat membuktikan adanya kegagalan teknis-mekanis saat itu tak langsung dieksekusi dan menerima sanksi hukuman fisik atau mental dari petinggi militer Jepang. Namun hukuman ini tak terlalu berat karena para pilot tersebut masih harus menjalani misi yang sama di hari esok nanti berikutnya.
Eksekusi terberat disertai pandangan sebagai seorang pengecut akan terjadi apabila pada saat ke-9 kalinya misi Kamikaze gagal dan sang pilot kembali pulang dalam keadaan bernyawa.
Salah satu cara untuk mengatasi faktor mental yang berakibat gagalnya para pilot Kamikaze menyelesaikan tugas mereka adalah dengan memberi ‘cairan keberanian’ yang diracik khusus oleh para petinggi militer Jepang yang dibantu ahli kimia. Cara itu menjadi cara terakhir diluar cara normal pada umumnya seperti menyertakan para pilot Kamikaze untuk dipaksa terbang bersama dalam kesatuan skuadron, yang dimana adalah teman-teman yang saling mengenal.
Ada satu kutipan yang menjadi acuan para pilot Kamikaze yang dilansir dari Kamikaze pilot manual:
Ketika kamu membuang pemikiran tentang hidup dan mati, maka kamu akan mengabaikan sepenuhnya kehidupan duniawi. Sehingga akan memungkinkan kamu untuk mempusatkan perhatian dengan tekad tak tergoyahkan untuk membasmi musuh, sementara itu hal tersebut akan memperkuat keunggulanmu dalam keterampilan terbang.
Bagaimana tanggapan kaum muda Jepang terhadap pilot kamikaze era Perang Dunia II?
Sumber gambar, Osamu Yamada
Selama Perang Dunia II, ribuan pilot Jepang sukarela menjadi kamikaze, aksi bunuh diri dengan menabrakkan pesawat mereka guna membela kaisar. Lebih dari 70 tahun setelah rangkaian peristiwa itu, wartawan BBC, Mariko Oi, bertanya kepada kaum muda Jepang mengenai tindakan para pilot tersebut.
Di luar akal sehat, heroik, dan bodoh. Demikian pendapat tiga pemuda di Tokyo saat saya bertanya apa pandangan mereka mengenai kamikaze?
Dua di antara ketiga pemuda itu adalah kakak beradik dan sang adik menganggap aksi pilot kamikaze penuh dengan sikap kepahlawanan. Namun, pandangan sang adik justru dipertanyakan kakaknya.
"Heroik?" tanya Shunpei kepada adiknya, Sho. "Saya baru tahu kamu begitu sayap kanan."
Lebih dari 70 tahun setelah Perang Dunia II usai, pandangan publik Jepang terhadap pilot kamikaze sangat beragam. Penyebabnya antara lain karena aksi para pilot tersebut selalu menjadi bahan perdebatan politik.
"Selama tujuh tahun pendudukan sekutu di Jepang, reputasi kamikaze adalah salah satu yang disasar," jelas profesor MG Sheftall dari Universitas Shizuoka.
Pilot kamikaze, menurutnya, digambarkan sebagai 'orang gila'.
"Namun manakala sekutu pergi pada 1952, kaum nasionalis sayap kanan muncul dengan kuat dan mereka menggelar upaya selama beberapa generasi untuk mengendalikan narasi," paparnya.
"Bahkan, pada 1970-an dan 1980-an, mayoritas rakyat Jepang berpendapat kamikaze adalah sesuatu yang memalukan, suatu kejahatan yang dilakukan negara terhadap anggota keluarga."
"Pada 1990-an, kaum nasionalis menguji opini publik dengan menyebut para pilot kamikaze sebagai pahlawan. Ketika mereka tidak mendapat banyak tentangan, mereka semakin berani dan berani," tambahnya.